Monday, June 22, 2015

Laporan Greenpeace: Selain Merusak Lingkungan, Industri Batubara Melukai Perekonomian Indonesia



Sebelum kita membaca laporan Greenpeace, mari kita memahami terlebih dahulu apa itu batu bara ya..


Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.

Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.

Rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.

Materi pembentuk batu bara
Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:


  • Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari periode ini.
  • Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari periode ini.
  • Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
  • Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
  • Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.



Kelas dan jenis batu bara
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.


  • Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
  • Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.
  • Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
  • Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
  • Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.


Pembentukan batu bara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:


  • Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
  • Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.


Laporan Greenpeace: Selain Merusak Lingkungan, Industri Batubara Melukai Perekonomian Indonesia

Ringkasan Eksekutif
Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan meningkatnya produksi dan ekspor batu bara sebesar lima kali lipat antara tahun 2000 dan 2012. Meskipun pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih terbatas. Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan biaya besar terhadap ekonomi nasional, sektor - sektor ekonomi lainnya serta mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah – daerah terkena dampak.

Indonesia hanya menguasai 3% cadangan batubara dunia, tetapi perusahaan yang beroperasi di sini  telah mengeksploitasinya secepat mungkin. Selama dekade terakhir, produksi telah menggelembung, mencapai lebih dari 450 juta ton pada tahun 2012. Sebagian besar batubara yang dihasilkan dari tambang - tambang Indonesia diekspor ke Cina dan negara - negara Asia lainnya, sementara  konsumsi batubara dalam negeri masih relatif datar (lihat Gambar 1).



Pada tahun 2011, Indonesia mengalahkan Australia sebagai eksportir batubara terbesar di dunia. 


Greenpeace meluncurkan laporan terbaru berjudul “Batubara Melukai Perekonomian Indonesia”. Dalam laporan tersebut Greenpeace mengungkapkan bahwa industri ekstraktif batubara yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia, justru telah melukai ekonomi nasional, memperburuk kemiskinan, dan mengancam penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar operasi pertambangan batubara.

Sejak tahun 2011, Indonesia telah menjadi pengekspor batubara terbesar di dunia, mengalahkan Australia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara yang belum pernah terjadi sebelumnya, produksi batubara meningkat mencapai lebih dari 450 juta ton pada tahun 2012.



Meskipun pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih terbatas.

Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang perekonomian Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar. Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal.



Industri batubara menggambarkan dirinya sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia. Pada kenyataannya, batubara adalah industri bernilai rendah yang menyebabkan kerusakan berlebihan kepada mata pencaharian, memperburuk kemiskinan dan berkontribusi minim terhadap PDB secara keseluruhan, dan bahkan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih rendah. Dengan kata lain, industri batubara justru telah melukai perekonomian di Indonesia.



“Pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena pertambangan batubara justru membawa dampak yang sangat negatif pada pertanian, perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk penghidupannya,” kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Selain itu, terdapat kelemahan sistemik di pasar batubara global, dan tidak bijaksana bila Indonesia terus berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas ekspor batubara. Permintaan impor batubara Cina cenderung melemah, dengan berbagai faktor yang mendorong turunnya permintaan. 

Salah satu faktornya adalah bahwa selama dua tahun terakhir,  tingkat polusi di Cina telah mencapai mencapai rekor dengan tingkat PM 2,5 (polusi partikulat kecil berukuran diameter 2,5 mikrometer) pada Januari 2013. Ini adalah lebih dari 30 kali tingkat yang aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 25 mikrogram per meter kubik. 

Selain itu kebijakan baru di 26 provinsi di China untuk memangkas produksi dan konsumsi batubara akan mengurangi permintaan batubara China secara signifikan. 



Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan ekonomi yang berbasis pada energi kotor batubara, seperti dampaknya yang merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan warga. Apabila Indonesia masih terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang bertopang pada batubara, maka dalam jangka panjang batubara dapat melukai perekonomian Indonesia, dan menjauhkan negara ini dari jalur pembangunan ekonomi rendah karbon,” pungkasnya. 

Kesimpulan
Perekonomian Indonesia sekarang adalah ke-16 terbesar di dunia, dengan basis manufaktur yang kuat, sektor jasa yang hidup dan besar, dan pasar konsumen yang berkembang pesat. Negara ini tidak perlu ekspor batubara, industri dengan nilai rendah tetapi berdampak negatif yang besar pada masyarakat dan untuk kemakmuran masadepan.

Ekspor batubara yang tidak terkontrol hanya menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro yang tidak diinginkan, sementara gagal untuk memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Insentif publik dan investasi yang diarahkan ke industri batubara akan menghasilkan lebih banyak pekerjaan, kemakmuran dan pertumbuhan jika dialihkan pada investasi jasa, industri hi-tech, dan manufaktur –termasuk energi terbarukan.

Kekuatan besar dunia seperti Cina dan Amerika Serikat telah sadar akan bahaya pembangunan berbasis batubara. Hal ini telah menyebabkan jatuhnya prakiraan permintaan di negara-negara ini, dan memicu kelebihan pasokan besar di pasar.

Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang inklusif, Indonesia perlu cerdas dan meningkatkan daya saingdan produktivitas sektor-sektor non-komoditas –apa yang disebut Morgan Stanley sebagai “Reformasi Struktural 2.0”. 

Masa depan bisa menjadi bebas batubara tanpa menjadi miskin.

No comments:

Post a Comment